Mesolitikum
(Bahasa Yunani: mesos "tengah", lithos batu) atau "Zaman Batu
Pertengahan" adalah suatu periode dalam perkembangan teknologi manusia,
antara Paleolitik atau Zaman Batu Tua dan Neolitik atau Zaman Batu Muda.
Untuk alat-alat perkakas yang digunakan
pada masa Mesolithikum hampir sama dengan alat-alat pada zaman Palaeolithikum
hanya sudah sedikit dihaluskan.
Istilah
ini diperkenalkan oleh John Lubbock dalam makalahnya "Jaman
Prasejarah" (bahasa Inggris: Pre-historic Times) yang diterbitkan pada
tahun 1865. Namun istilah ini tidak terlalu sering digunakan sampai V. Gordon
Childe mempopulerkannya dalam bukunya The Dawn of Europe. Zaman ini di
perkirakan berlangsung pada masa Holosen (10.000 tahun yang lalu).
Pada
zaman mesolitikum di Indonesia, manusia hidup tidak jauh berbeda dengan zaman
paleolitikum, yaitu dengan berburu dan menangkap ikan, namun manusia pada masa
itu juga mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam secara
sederhana. Tempat tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi pantai
(kjokkenmoddinger) dan goa-goa (abris sous roche) sehingga di lokasi-lokasi
tersebut banyak ditemukan berkas-berkas kebudayaan manusia pada zaman itu.
Cara
hidup pada masa mesolitikum masih dipengaruhi oleh cara hidup sebelumnya.
Factor-faktor alam seperti iklim, kesuburan tanah dan keadaan fauna amat
berpengaruh dan menentukan hidup mereka sehari-hari. Hidup mereka masih
sepenuhnya tergantung pada alam. Dalam hidup yang sepenuhnya tergantung pada
alam tersebut, mereka juga menunjukkan keinginan untuk bertempat tinggal.
Tempat yang mereka tinggali adalah gua-gua alam (caves) atau di gua-gua payung
atau ceruk (rock-shelters) walaupun tidak menetap (Soejono, 2010: 180).
Mereka
memilih gua-gua yang tidak jauh dari sumber air, atau di dekat sungai yang
mengandung sumber-sumber makanan seperti ikan, kerang, dan siput. Selain itu,
pertimbangan kesuburan tanah dan kondisi gua sendiri juga menjadi pertimbangan
mereka menempati gua. Kondisi gua yang akan dipilih oleh mereka apabila
pencahayaan dan sirkulasi udara lancer (guna), lantai gua harus lebih tinggi
dari permukaan, dan lantai gua dari tanah. Karena jika dari tanah apabila malam
akan hangat dan siang dingin. Sehubungan dengan kesuburan tanah, apabila tanah
tidak subur untuk tanaman, mereka akan mencari tempat lain untuk melangsungkan
hidup.
Berdasarkan
temuan-temuan artefak pada masa mesolitikum ini, tampaklah kelanjutan tradisi
alat-alat batu dan tulang. Penbuatan alat-alat dari batu dan tulang
menghasilkan kapak genggam Sumatra dan kapak pendek di beberapa wilayah,
sedangkan alat serpih-bilah boleh dikatakan sebagai pelengkap alat-alat utama.
Di samping pembuatan alat dari batu, tulang, tanduk, dan kulit kerang, ada juga
kemungkinan mereka sudah membuat alat-alat dari pepohonan yang ada. Misalnya
bambu, karena bamboo bisa dijadikan lancipan untuk sudip dan lainnya. Selain
itu untuk tempat makanan bambu bisa digunakan sebagai wadah apabila dianyam.
Menurut
Prasetyo (dalam Soejono, 2010: 181), mengatakan bahwa penemuan api dan
perkembangan teknologi pertanian merupakan proses pembarun yang memberntuk
dasar budaya. Hal ini mungkin karena selain mendatangkan tanda awal kehidupan
social, juga melahirkan teknologi lainnya yang berhubungan. Artinya di sini,
mereka akan berpikir apa saja yang bisa dilakukan untuk membuat makanan dengan
menggunakan perapian.
Sebagian
manusia pendukung kebudayaan mesolitikum masih tetap berburu dan mengumpulkan
makanan, tetapi sebagian besar dari mereka sudah mempunyai tempat tinggal tetap
di gua-gua dan bercocok tanam secara sederhana. Ada pula pendukung kebudayaan
batu madya yang hidup di daerah pesisir. Hal tersebut karena ditemukannya
kjokkenmoddinger,yang membuktikan bahwa mereka hidup dengan menangkap ikan,
siput, dan kerang.
Bercocok
tanam dikerjakan secara sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah menurut
keadaan kesuburan tanah. mereka menanam umbi-umbian,.Mereka juga sudah menanan
sejenis padi liar (sudah melakukan domestikasi). Setelah musim panen selesai,
lahan pertanian yang sederhana itu akan ditinggalkan dan mencari tempat baru.
Di tempat baru ini mereka akan melakukan pola kehidupan seperti sebelumnya.
Kehadiran alat-alat batu, alat-alat tulang, dan gerabah memberikan gambaran
bahwa mereka sudah mulai memasak makanan atau hasi panen dan buruan mereka.
Karena seperti kita ketahui bahwa gerabah bisa digunakan sebagai wadah dan
tempat memasak. Jadi mungkin inilah hubungan adanya api dengan perkenbangan
alat-alat selanjutnya.
Pada masa itu, manusia sudah berusaha
menjinakkan binatang (domestikasi). Hal ini dibuktikan dengan penemuan fosil
gigi anjing di Gua Cokondo, Sulawesi Selatan Hawkes (dalam Soejono: 184).
Meskipun tidak ada bukti-bukti yang kuat tentang hal tersebut, yaitu yang
nantinya akan berkaitan dengan pemeliharaan dan perkembangbiakan binatang.
Namun seperti kita ketahui bahwa anjing adalah binatang yang dapat menolong
manusia dalam hidupnya, seperti berburu, dapat dipergunakan untuk menjaga
tempat tinggal, dan dapat digunakan untuk berburu di dalam hutan, karena anjing
adalah hewan karnivora dan memiliki daya cium yang sangat tajam.
Ciri
zaman Mesolithikum:
·
Nomaden dan
masih melakukan food gathering (mengumpulkan makanan)
· Alat-alat yang
dihasilkan nyaris sama dengan zaman palaeolithikum yakni masih merupakan
alat-alat batu kasar.
· Ditemukannya
bukit-bukit kerang di pinggir pantai yang disebut Kjoken Mondinger (sampah
dapur)
· Alat-alat zaman
mesolithikum antara lain: Kapak genggam (Pebble), Kapak pendek (hache Courte)
Pipisan (batu-batu penggiling) dan kapak-kapak dari batu kali yang dibelah.
· Alat-alat diatas
banyak ditemukan di daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Flores.
· Alat-alat
kebudayaan Mesolithikum yang ditemukan di gua Lawa Sampung, Jawa Timur yang
disebut Abris Sous Roche antara lain: Flakes (Alat serpih),ujung mata panah,
pipisan, kapak persegi dan alat-alat dari tulang.
Empat
bagian penting kebudayaan Mesolithikum:
1.
Pebble-Culture
Kjokkenmoddinger
atau midden, juga dikenal sebagai sampah dapur, atau tumpukan kerangadalah
sebuah tempat pembuangan sampah lokal. Kata 'midden' ini berasal dari bahasa
Skandinavia melalui derivasi Bahasa Inggris Pertengahan, tetapi digunakan oleh
arkeolog di seluruh dunia untuk mengartikan sesuatu yang berisi produk sampah
dan berhubungan dengan kehidupan manusia sehari-hari. Sesuatu tersebut berupa
parit yang digunakan sekali yang dibuat oleh kelompok orang-orang menetap
secara sementara atau jangkap lama, sebagai tempat pembuangan khusus yang
digunakan oleh masyarakat sedenter dan terus menumpuk selama beberapa generasi
Kjokkenmoddinger
adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ±
7 meter dan sudah membatu atau menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan
disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari
bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada
zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam
yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum).
Penemuan ini
kemudian melahirkan asumsi bahwa pada zaman tersebut kehidupan manusia sangat
bergantung pada hasil tangkapan siput dan kerang. Selain Kjokkenmoddinger,
dalam penelitiannya Van Stein juga menemukan banyak benda berupa: batu
penggiling beserta pipisannya, kapak genggam dan juga pecahan-pecahan tengkorak
dan gigi.
Tahun 1925, Dr.
P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan
hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit
kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith)
sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra. Bahan-bahan untuk
membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah.
Hache Court itu
berasal dari bahasa perancis yaiut kapak pendek. selain kapak genggam dalam
tumpukan sampah (Kjokkenmoddinger) itu juga ditemukan sejenis kapak tetapi
bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak
pendek
d.
Pipisan
Selain
kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan pipisan
(batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan
untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah. Bahan
cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah diperkirakan digunakan untuk
keperluan religius dan untuk ilmu sihir.
2.
Bone-Culture
(alat kebudayaan dari Tulang)
Berdasarkan
alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa lawu di Sampung (daerah Ponorogo -
Madiun Jawa Timur) tahun 1928 - 1931, ditemukan alat-alat dari batu seperti
ujung panah dan flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa,
dan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar
dari alat-alat yang ditemukan itu adalah tulang, sehingga disebut sebagai
Sampung Bone Culture.
Sampung
bone culture
3.
Flakes Culture
a.
Abris Sous Roche
(Gua tempat tinggal)
Goa
tempat ditemukannya alat alat peninggalan kebudayaan bacson hoabinh
Kebudayaan ini
ditemukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam,
Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali,
seperti bahewa batu giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang
meninggal dikubur di gua dan juga di bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya
diposisikan dengan berjongkok dan diberi cat warna merah. Pemberian cat warna
merah bertujuan agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup.
Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini
banyak ditemukan dari Medan sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah
bergeser sejauh 5 km dari garis pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi
pengangkatan lapisan-lapisan bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke
Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh,
yakni:
·
Kebudayaan
pebble dan alat-alat dari tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur barat.
·
Kebudayaan
flakes yang datang ke Indonesia melalui jalur timur.
Dengan adanya
keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung
kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap
penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal
bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan
pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah
Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes,
sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau
Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes
berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan
Filipina.
c.
Kebudayaan Toala
Kebudayaan Toala
dan yang serumpun dengan itu disebut juga kebudayaan flake dan blade.
Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu api dari eropa,
seperti chalcedon, jaspis, obsidian dan kapur. Perlakuan terhadap orang yang
meninggal dikuburkan didalam gua dan bila tulang belulangnya telah mengering
akan diberikan kepada keluarganya sebagai kenang-kenangan. Biasanya kaum
perempuan akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu,
didalam gua terdapat lukisan mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima
jari yang dilumuri cat merah yang disebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah
tanda berkabung. Kebudayaan ini ditemukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban),
Sumatera (danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.
Hasil Kebudayaan
Mesolithikum
Jadi dapat
disimpulkan beberapa peninggalan kebudayaan mesolitikum sebagai berikut
- · Hasil kebudayaan dan Alat yang digunakan
- · Kapak Genggam / chopper
- · Kapak dengan bahan batu kali yang dipecah
- · Kapak pendek
- · Kapak dengan bentuk pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
- · Flakes
- · serpihan-serpihan yang terbuat dari batu-batu biasa tetapi ada juga yang dari batu berwarna/caldeson.
- · Alat-alat dari tanduk rusa
- · Lukisan dinding