BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemilihan
umum (pemilu) merupakan salah satu sarana demokrasi. Pesta demokrasi yang
merupakan perwujudan tatanan kehidupan negara dan masyarakat yang berkedaulatan
rakyat, pemerintahan dari dan untuk rakyat. Melalui pemilu, setidaknya dapat
dicapai tiga hal. Pertama, lewat pemilu kita dapat menguji hak – hak politik
rakyat secara masif dan serempak. Kedua, melalui pemilu kita dapat berharap
terjadinya proses rekrutmen politik secara adil, terbuka, dan kompetitif.
Ketiga, dari pemilihan umum kita menginginkan adanya pola pergiliran kekuasaan
yang damai.
Pemilu
di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan,
yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun, setelah amandemen
keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres),
yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat
sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian
dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.
B.
Rumusan Masalah
Supaya
dalam penulisan makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan, maka penulis
menyusunkan rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.
Apa pengertia
pemilu ?
2.
Bagaimana Proses
terjadinya pemilu di Indonesia ?
3.
Apa saja syarat
dalam pemilu ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pemilu
Pemilu
merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat memilih
pemimpin politik secara langsung. Yang dimaksud pemimpin politik disini adalah
wakil-wakil rakyat baik ditingkat pusat maupun daerah dan pemimpin lembaga
esksekutif atau kepala pemerintahan seperti Presiden, Gubernur, Bupati dan
Walikota.
Dalam
Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah
para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa
kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari
pemungutan suara.
Setelah
pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu
ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya
telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para
pemilih.
B.
Sejarah Pemilu
di Indonesia
Pemilu
1955 Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu
itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat
minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia
benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Yang
jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh
Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan
keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu
dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta
tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai
politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan
MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu
pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu
bukan tanpa sebab.
Tetapi,
berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan
dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota
DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan
Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan
Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan
dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber
dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber
penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan
pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk
mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan
negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap
pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara
teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing
yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Pemilihan
umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga
perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah
amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden
(pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung
oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres
sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.
Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada
pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5
tahun sekali.
C.
Asas Pemilu
Indonesia
Pemilihan
umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari
"Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada
sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya
secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat
diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti
pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun,
kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia
hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian
di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan
singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa
pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa
setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya
dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat
yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta
pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap
peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada
pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
D.
Proses Pemilu di
Indonesia
Pengalaman
rakyat Indonesia dengan pemilu sudah berusia lebih setengah abad. Pemilu
pertama di awal kemerdekaan pada tahun 1955 tercatat dalam sejarah sebagai
pemilu multipartai yang demokratis. Peserta pemilu terdiri dari partai politik
dan perseorangan, serta diikuti lebih dari 30 kontestan. Hasil pemilu 1955
memberikan cetak biru bagi konfigurasi pengelompokan politik masyarakat yang
tercermin dalam konfiguarsi elit. Setelah pemilu 1955, pemilu berikutnya
terjadi di era Orde Baru. Kelebihan pemilu-pemilu orde baru keberkalaannya.
Penguasa orde baru berhasil menyelenggarakan pemilu secara teratur tiap lima
tahun sekali. Tetapi kelemahan mendasarnya adalah pemilu-pemilu orde baru
diselenggarakan dengan tidak memenuhi persyaratan sebuah pemilu yang
demokratis. Harus diakui bahwa bpartisipasi politik rakyat dalam mengikuti
pemilu-pemilu Orde Baru sangat
fantastis. Rata-rata pemilu – pemilu orde baru diikuti oleh lebih dari 80 %
pemilih, bahkan nyaris mendekati 90 % pemilih. Sebuah tingkat partisipasi
politik yang tidak dijumpai di negaran kampiun demokrasi seperti inggris dan
Amerika Serikat. Namun aturan penyelenggaraan pemilu-pemilu tersebut memiliki
cacat kronis.
Pertama,
tidak ada kompetisi yang sehat dan adil diantara peserta pemilu. Hal itu
dilihat dari adanya undang – undang yang membatasi jumlah partai peserta
pemilu, yaitu hanya diikuti oleh 3 partai politik. Selain ketiga partai politik
tersebut tidak boleh ikut pemilu, bahkan tidak boleh ada partai politik yang
terbentuk selain ketiga partai tersebut. (PPP, Golongan Karya, PDIP).
Kedua,
tidak ada kebebasan dan keleluasaan bagi pemilih untuk mempertimbangkan dan
menentukan pilihan-pilihannya. Secara sistematis, penguasa orde baru
menggunakan jalur birokrasi untuk memenangkan pemilu. Bahkan pada pemilu 1971,
Menteri Dalam Negeri ketika itu sempat membuat edaran agar pegawai negeri
memiliki loyalitas tunggal hanya pada pemerintah, yang diterjemahkan sebagai
loyal pada partai penguasa. Pegawai negeri dilarang terlibat dalam partai
politik, tetapi tidak dilarang jika terlibat dalam partai penguasa saat itu.
Ketiga,
penyelenggara pemilu adalah pemerintah, terutama Departemen Dalam Negeri. Azas
ketidakberpihakan penyelenggara pemilu tidak terpenuhi karena pemerintah adalah bagian dari partai
berkuasa dan menjadi salah satu peserta pemilu pula. Dengan demikian besar
peluang untuk terjadinya kecurangan dalam mekanisme teknis pemilu, yang tentu
saja merugikan peserta pemilu lainnya (selain partai berkuasa). Sehingga syarat kompetitif yang adil dan
bebas tidak terpenuhi. Partai berkuasa
memiliki kesempatan untuk bersaing lebih baik dari pada partai-partai
oposisi. Hasilnya pun bisa diduga. Partai berkuasa selalu menang dengan
mayoritas mutlak, rata-rata memperoleh 80 % suara.
E.
Jenis Pemilu di
Indonesia
1.
Pemilihan umum
anggota lembaga legislative
Sepanjang
sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota lembaga
legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999,
2004, dan 2009.
a.
Pemilu 1955
Pemilu
pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih
anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan
Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat
pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri
Burhanuddin Harahap. Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua
tahap, yaitu:
1)
Tahap pertama
adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal
29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
2)
Tahap kedua
adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan
pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima
besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul
Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
b.
Pemilu 1971
Pemilu
berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juli 1971.
Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai
politik dan 1 organisasi masyarakat.
Lima
besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai
Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan)
partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan
Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.
c.
Pemilu 1977-1997
Pemilihan
Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1977, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD
Indonesia 1982, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1987, Pemilihan
Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1992, dan Pemilihan Umum Anggota DPR dan
DPRD Indonesia 1997
Pemilu-Pemilu
berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto.
Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru".
Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya
diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut
kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
d.
Pemilu 1999
Pemilihan
Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1999. Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu
pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun
1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ
Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima
besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar,
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat
Nasional.
Walaupun
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan
suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari
partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan
Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon
presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya
bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan
presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
e.
Pemilu 2004
Pada
Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan
baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
f.
Pemilu 2009
Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2009
2.
Pemilihan Umum
Presiden Dan Wakil Presiden
Pemilihan
umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu
2004.
a.
Pemilu 2004
Pemilu
2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung
presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo
Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak
ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran
kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara
Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf
Kalla.
Pergantian
kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum
pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada
pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan
Yudhoyono sebagai presiden.
b.
Pemilu 2009
Pilpres
2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan
memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo
Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.
F.
Syarat Pemilu
Disepakati
bahwa pemilu merupakan sarana demokrasi untuk membentuk kepemimpinan negara.
Dua cabang kekuasaan negara yang penting, yaitu lembaga perwakilan rakyat (
badan legislatif) dan pemerintah (badan eksekutif), umumnya dibentuk melalui
pemilu. Walau pemilu merupakan sarana demokrasi, tetapi belum tentu mekanisme
penyelenggaraannya pun demokratis.
Sebuah
pemilu yang demokratis memiliki beberapa persyaratan. Pertama, pemilu harus
bersifat kompetitif, artinya peserta pemilu baik partai politik maupun calon
perseorangan harus bebas dan otonom. Baik partai politik yang sedang berkuasa,
maupun partai-partai oposisi memperoleh hak – hak politik yang sama dan dijamin oleh undang – undang (UU),
seperti kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat.
Syarat
kompetitif juga menyangkut perlakuan yang sama dalam menggunakan sarana dan
prasarana publik, dalam melakukan kampanye, yang diatur dalam UU. Misalnya
stasiun televisi milik negara harus memberikan kesempatan yang besar pada
partai politik yang berkuasa, sementara
kesempatan yang sama tidak diberikan pada partai-partai peserta pemilu lainnya
Kedua,
pemilu harus diselenggarakan secara berkala. Artinya pemilihan harus
diselenggarakan secara teratur dengan
jarak waktu yang jelas. Misalnya setiap empat, lima, atau tujuh tahun sekali.
Pemilihan berkala merupakan mekanisme sirkulasi elit, dimana pejabat yang
terpilih bertanggung jawab pada pemilihnya dan memperbaharui mandat yang
diterimanya pada pemilu sebelumnya. Pemilih dapat kembali memilih pejabat yang
bersangkutan jika merasa puas dengan kerja selama masa jabatannya. Tetapi dapat
pula menggantinya dengan kandidat lain yang dianggap lebih mampu, lebih
bertanggung jawab, lebih mewakili kepemimpinan, suara atau aspirasi dari
pemilih bersangkutan. Selain itu dengan pemilihan berkala maka kandidat
perseorangan atau kelompok yang kalah dapat memperbaiki dan mempersiapkan diri
lagi untuk bersaing dalam pemilu berikut. Ketiga, pemilu haruslah inklusif.
Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin,
penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus
memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu
kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu. Hal ini
diharapkan akan tercermin dalam hasil pemilu yang menggambarkan keanekaragaman
dan perbedaan – perbedaan di masyarakat.
Keempat,
pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan
alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan
akses memperoleh informasi yang luas. Keterbatasan memperoleh informasi membuat
pemilih tidak memiliki dasar pertimbangan
yang cukup dalam menetukan pilihannya. Suara pemilih adalah kontrak yang
(minimal) berusia sekali dalam periode pemilu (bisa empat, lima, atau tujuh
tahun). Sekali memilih, pemilih akan ”teken kontrak” dengan partai atau orang
yang dipilihnya dalam satuperiode tersebut. Maka agar suara pemilih dapat
diberikan secara baik, keleluasaan memperoleh informasi harus benar-benar
dijamin.
Kelima,
penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen. Penyelenggaraan pemilu
sebagian besar adalah kerja teknis. Seperti penentuan peserta pemilu, Pembuatan
kertas suara, kotak suara, pengiriman hasilpemungutan suara pada panitia
nasional, penghitungan suara, pembagian cursi dan sebagainya. Kerja teknis
tersebut dikoordinasi oleh sebuah panitia penyelenggara pemilu. Maka keberadaan
panitia penyelenggara pemilu yang tidak memihak, independen, dan profesional
Sangay menentukan jalannya proses pemilu yang demokratis. Jika penyelenggara
merupakan bagian dari partai politik yang berkuasa, atau berasal dari partai
politik peserta pemilu, maka azas ketidakberpihakan tidak terpenuhi. Otomatis
nilai pemilu yang demokratis juga tidak terpenuhi.
G.
Manfaat Pemilu
Manfaat
Pemilihan Umum bagi penyelenggaraan Pemilu sangatlah penting bagi suatu Negara,
hal ini disebabkan karena :
1. Pemilihan Umum
merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
2. Pemilihan Umum
merupakan sarana untuk melakukan pergantian pemimpin secara konstitusional.
3. Pemilihan Umum
merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi.
4. Pemilihan Umum
merupakan sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam proses politik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemilu
merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat memilih
pemimpin politik secara langsung. Yang dimaksud pemimpin politik disini adalah
wakil-wakil rakyat baik ditingkat pusat maupun daerah dan pemimpin lembaga
esksekutif atau kepala pemerintahan seperti Presiden, Gubernur, Bupati dan
Walikota.
Dalam
Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah
para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa
kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari
pemungutan suara.
Setelah
pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu
ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya
telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para
pemilih..
B.
Saran
Pembahasan
makalah ini sangatlah sederhana,secara keseluruhan makalah ini sudah cukup
menggambarkan tentang pemilu. Oleh karena itu kepada pembaca makala ini agar
kiranya berkenan memperbaiki makalah ini agar lebih menarik dan Interaktif.
Sebaiknya bagi para pemilih agar memilih calon legisltif yang jujur dan dapat
dipercaya dengan baik,karena dengan itulah Negara kita akan tetap maju di masa
yang akan datang .