30.5.18

MATERI PELAJARAN SEKOLAH : PEMILU


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu sarana demokrasi. Pesta demokrasi yang merupakan perwujudan tatanan kehidupan negara dan masyarakat yang berkedaulatan rakyat, pemerintahan dari dan untuk rakyat. Melalui pemilu, setidaknya dapat dicapai tiga hal. Pertama, lewat pemilu kita dapat menguji hak – hak politik rakyat secara masif dan serempak. Kedua, melalui pemilu kita dapat berharap terjadinya proses rekrutmen politik secara adil, terbuka, dan kompetitif. Ketiga, dari pemilihan umum kita menginginkan adanya pola pergiliran kekuasaan yang damai.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun, setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.

B.       Rumusan Masalah
Supaya dalam penulisan makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan, maka penulis menyusunkan rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.          Apa pengertia pemilu ?
2.          Bagaimana Proses terjadinya pemilu di Indonesia ?
3.          Apa saja syarat dalam pemilu ?
  

BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Pemilu
Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat memilih pemimpin politik secara langsung. Yang dimaksud pemimpin politik disini adalah wakil-wakil rakyat baik ditingkat pusat maupun daerah dan pemimpin lembaga esksekutif atau kepala pemerintahan seperti Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
B.       Sejarah Pemilu di Indonesia
Pemilu 1955 Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
C.       Asas Pemilu Indonesia
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
D.       Proses Pemilu di Indonesia
Pengalaman rakyat Indonesia dengan pemilu sudah berusia lebih setengah abad. Pemilu pertama di awal kemerdekaan pada tahun 1955 tercatat dalam sejarah sebagai pemilu multipartai yang demokratis. Peserta pemilu terdiri dari partai politik dan perseorangan, serta diikuti lebih dari 30 kontestan. Hasil pemilu 1955 memberikan cetak biru bagi konfigurasi pengelompokan politik masyarakat yang tercermin dalam konfiguarsi elit. Setelah pemilu 1955, pemilu berikutnya terjadi di era Orde Baru. Kelebihan pemilu-pemilu orde baru keberkalaannya. Penguasa orde baru berhasil menyelenggarakan pemilu secara teratur tiap lima tahun sekali. Tetapi kelemahan mendasarnya adalah pemilu-pemilu orde baru diselenggarakan dengan tidak memenuhi persyaratan sebuah pemilu yang demokratis. Harus diakui bahwa bpartisipasi politik rakyat dalam mengikuti pemilu-pemilu  Orde Baru sangat fantastis. Rata-rata pemilu – pemilu orde baru diikuti oleh lebih dari 80 % pemilih, bahkan nyaris mendekati 90 % pemilih. Sebuah tingkat partisipasi politik yang tidak dijumpai di negaran kampiun demokrasi seperti inggris dan Amerika Serikat. Namun aturan penyelenggaraan pemilu-pemilu tersebut memiliki cacat kronis.
Pertama, tidak ada kompetisi yang sehat dan adil diantara peserta pemilu. Hal itu dilihat dari adanya undang – undang yang membatasi jumlah partai peserta pemilu, yaitu hanya diikuti oleh 3 partai politik. Selain ketiga partai politik tersebut tidak boleh ikut pemilu, bahkan tidak boleh ada partai politik yang terbentuk selain ketiga partai tersebut. (PPP, Golongan Karya, PDIP).
Kedua, tidak ada kebebasan dan keleluasaan bagi pemilih untuk mempertimbangkan dan menentukan pilihan-pilihannya. Secara sistematis, penguasa orde baru menggunakan jalur birokrasi untuk memenangkan pemilu. Bahkan pada pemilu 1971, Menteri Dalam Negeri ketika itu sempat membuat edaran agar pegawai negeri memiliki loyalitas tunggal hanya pada pemerintah, yang diterjemahkan sebagai loyal pada partai penguasa. Pegawai negeri dilarang terlibat dalam partai politik, tetapi tidak dilarang jika terlibat dalam partai penguasa saat itu.
Ketiga, penyelenggara pemilu adalah pemerintah, terutama Departemen Dalam Negeri. Azas ketidakberpihakan penyelenggara pemilu tidak terpenuhi  karena pemerintah adalah bagian dari partai berkuasa dan menjadi salah satu peserta pemilu pula. Dengan demikian besar peluang untuk terjadinya kecurangan dalam mekanisme teknis pemilu, yang tentu saja merugikan peserta pemilu lainnya (selain partai berkuasa).  Sehingga syarat kompetitif yang adil dan bebas tidak terpenuhi. Partai berkuasa  memiliki kesempatan untuk bersaing lebih baik dari pada partai-partai oposisi. Hasilnya pun bisa diduga. Partai berkuasa selalu menang dengan mayoritas mutlak, rata-rata memperoleh 80 % suara.
E.        Jenis Pemilu di Indonesia
1.         Pemilihan umum anggota lembaga legislative
Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota lembaga legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009.
a.         Pemilu 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1)        Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
2)        Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
b.         Pemilu 1971
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.  Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.
c.         Pemilu 1977-1997
Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1977, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1982, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1987, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1992, dan Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1997
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
d.        Pemilu 1999
Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1999. Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
e.         Pemilu 2004
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
f.          Pemilu 2009
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2009
2.         Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu 2004.
a.         Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.
b.         Pemilu 2009


Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.
F.        Syarat Pemilu
Disepakati bahwa pemilu merupakan sarana demokrasi untuk membentuk kepemimpinan negara. Dua cabang kekuasaan negara yang penting, yaitu lembaga perwakilan rakyat ( badan legislatif) dan pemerintah (badan eksekutif), umumnya dibentuk melalui pemilu. Walau pemilu merupakan sarana demokrasi, tetapi belum tentu mekanisme penyelenggaraannya pun demokratis.
Sebuah pemilu yang demokratis memiliki beberapa persyaratan. Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, artinya peserta pemilu baik partai politik maupun calon perseorangan harus bebas dan otonom. Baik partai politik yang sedang berkuasa, maupun partai-partai oposisi memperoleh hak – hak politik yang sama  dan dijamin oleh undang – undang (UU), seperti kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat.
Syarat kompetitif juga menyangkut perlakuan yang sama dalam menggunakan sarana dan prasarana publik, dalam melakukan kampanye, yang diatur dalam UU. Misalnya stasiun televisi milik negara harus memberikan kesempatan yang besar pada partai  politik yang berkuasa, sementara kesempatan yang sama tidak diberikan pada partai-partai peserta pemilu lainnya
Kedua, pemilu harus diselenggarakan secara berkala. Artinya pemilihan harus diselenggarakan  secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Misalnya setiap empat, lima, atau tujuh tahun sekali. Pemilihan berkala merupakan mekanisme sirkulasi elit, dimana pejabat yang terpilih bertanggung jawab pada pemilihnya dan memperbaharui mandat yang diterimanya pada pemilu sebelumnya. Pemilih dapat kembali memilih pejabat yang bersangkutan jika merasa puas dengan kerja selama masa jabatannya. Tetapi dapat pula menggantinya dengan kandidat lain yang dianggap lebih mampu, lebih bertanggung jawab, lebih mewakili kepemimpinan, suara atau aspirasi dari pemilih bersangkutan. Selain itu dengan pemilihan berkala maka kandidat perseorangan atau kelompok yang kalah dapat memperbaiki dan mempersiapkan diri lagi untuk bersaing dalam pemilu berikut. Ketiga, pemilu haruslah inklusif. Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu. Hal ini diharapkan akan tercermin dalam hasil pemilu yang menggambarkan keanekaragaman dan perbedaan – perbedaan di masyarakat.
Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Keterbatasan memperoleh informasi membuat pemilih tidak memiliki dasar pertimbangan  yang cukup dalam menetukan pilihannya. Suara pemilih adalah kontrak yang (minimal) berusia sekali dalam periode pemilu (bisa empat, lima, atau tujuh tahun). Sekali memilih, pemilih akan ”teken kontrak” dengan partai atau orang yang dipilihnya dalam satuperiode tersebut. Maka agar suara pemilih dapat diberikan secara baik, keleluasaan memperoleh informasi harus benar-benar dijamin.
Kelima, penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen. Penyelenggaraan pemilu sebagian besar adalah kerja teknis. Seperti penentuan peserta pemilu, Pembuatan kertas suara, kotak suara, pengiriman hasilpemungutan suara pada panitia nasional, penghitungan suara, pembagian cursi dan sebagainya. Kerja teknis tersebut dikoordinasi oleh sebuah panitia penyelenggara pemilu. Maka keberadaan panitia penyelenggara pemilu yang tidak memihak, independen, dan profesional Sangay menentukan jalannya proses pemilu yang demokratis. Jika penyelenggara merupakan bagian dari partai politik yang berkuasa, atau berasal dari partai politik peserta pemilu, maka azas ketidakberpihakan tidak terpenuhi. Otomatis nilai pemilu yang demokratis juga tidak terpenuhi.
G.       Manfaat Pemilu
Manfaat Pemilihan Umum bagi penyelenggaraan Pemilu sangatlah penting bagi suatu Negara, hal ini disebabkan karena :
1.       Pemilihan Umum merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
2.  Pemilihan Umum merupakan sarana untuk melakukan pergantian pemimpin secara konstitusional.
3.       Pemilihan Umum merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi.
4.      Pemilihan Umum merupakan sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam proses politik.



BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat memilih pemimpin politik secara langsung. Yang dimaksud pemimpin politik disini adalah wakil-wakil rakyat baik ditingkat pusat maupun daerah dan pemimpin lembaga esksekutif atau kepala pemerintahan seperti Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih..
B.       Saran
Pembahasan makalah ini sangatlah sederhana,secara keseluruhan makalah ini sudah cukup menggambarkan tentang pemilu. Oleh karena itu kepada pembaca makala ini agar kiranya berkenan memperbaiki makalah ini agar lebih menarik dan Interaktif. Sebaiknya bagi para pemilih agar memilih calon legisltif yang jujur dan dapat dipercaya dengan baik,karena dengan itulah Negara kita akan tetap maju di masa yang akan datang .




27.5.18

MATERI PELAJARAN SEKOLAH : ZAKAT



A.      Pendahuluan

Kita sebagai umat muslim pasti meyakini rukun islam. Salah satu rukun islam adalah zakat yang merupakan rukun ke 3. Zakat juga merupakan kewajiban.
Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW yang artinya : Dari ‘Abdullah r.a., katanya Rasulullah SAW bersabda : “Islam dibina atas lima perkara : Pengakuan (syahadat) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad hamba-Nya dan Rasul-Nya; Mendirikan Shalat; Membayar zakat; Haji ke bait; Puasa Ramadhan.”(HR. Muslim).
Surat yang menjelaskan tentang zakat salah satunya adalah surat at taubah ayat 103. Surat tersebut berisi tentang zakat merupakan salah satu cara untuk mensucikan, membersihkan, menyempurnakan diri. Tujuannya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Firman Allah dalam surat at taubah ayat 103:
  
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
B.     Metode Tafsir Tahlili
Tafsir tahlili adalah penafsirann ayat al-Quran dari segala segi dengan mengikuti urutan mushaf dengan meneliti arti mufrodat-nya, kandungan makna, dan tujuan pembicaraannya di dalam tiap-tiap susunan katanya, munasabat antar ayar-ayatnya, menggunakan bantuan asbab al-nuzul, sunah rosul, aqwal sahabah dan tabi’in. kemudian diolah sesuai dengan kepandaian dan keahlian para mufasir dalam bidangnya masing-masing. Tafsir yang ditulis pada masa klasik pada umumnya menggunakan metode tahlili[1]. 
Metode Tahlili adalah penafsiran al-Qur'an secara ayat per ayat, surat per surat, sejalan dengan urutannya dalam mushaf. Untuk itu mufasir menguraikan kosa kata dan lapal, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran dituju dan kandungannya, yaitu unsur ’ijaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang diistimbathkan dari dari ayat dengan merujuk kepada asbabun nuzul, hadits Nabi, riwayat para sahabat, tabi'in dan tabiit tabiin[2].
 Metode tahlili adalah metode yang dipergunakan oleh kebanyakan ulama pada masa-masa dahulu. Meskipun mereka menempuh pendekatan yang sama, namun ternyata corak masing-masing penafsiran berbeda. Sebagai contoh, ada diantara mereka yang mengemukakan penafsiran dengan metode ini melalui ithnab atau panjang lebar, seperti al-Alussy, al Fakhr al-Raazy, al-Qurthuby, dan Ibn Jarir at-Thabary. Di lain pihak ada diantara mereka yang mengemukakannya dengan yaz atau singkatan, seperti Jalal al-Din al-Mahally dan Jalal al-Din at-Sayuthy, kitab tafsir mereka berdua lebih dikenal dengan tafsir Jalalain: Selain itu ada pula yang mengambil jalan pertengahan (musawah) seperti Imam al-Baidlawy, alNaisabury, dan lain-lain.
1.      Mufrodat  :
ambillah : خُذْ
atas mereka : عَلَيْهِمْ
dari :  مِنْ 
sesungguhnya : إِنَّ
sebagian harta mereka : أَمْوَٰلِهِمْ
doa kamu : صَلَوٰتَكَ
Sedekah : صَدَقَةً
ketentraman : سَكَنٌ
kamu membersihkan mereka : تُطَهِّرُهُمْ 
bagi mereka : لَّهُمْ
dan kamu mensucikan mereka : وَتُزَكِّيهِم
dan Allah : وَٱللَّهُ
dengannya : بِهَا
Maha Mendengar : سَمِيعٌ
dan doakanlah : وَصَلِّ
Maha Mengetahui :  عَلِيمٌ

2.      Isi kandungan
 Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW dalam ayat ini untuk memungut zakat dari umatnya untuk menyucikan dan membersihkan mereka dengan zakat itu. Juga diperintahkan agar beliau berdo’a dan beristighfar bagi mereka yang menyerahkan bagian zakatnya. Pada masa khalifah Abu Bakar, ayat ini dijadikan alasan oleh orang-orang yang menolak mengeluarkan zakat karena yang diperintah untuk memungut zakat dari mereka adalah Rasullullah sendiri, perintah Allah dalam ayat ini ditujukan kepada beliau pribadi bukan Abu Bakar.
Akan tetapi kemudian pendapat mereka ditolak oleh khalifah dan bahkan mereka karena menolak menyerahkan zakat yang wajib itu dinyatakan sebagai orang-orang yang murtad yang patut diperangi. Karena sifat tegas khalifah maka menyerahlah mereka dan kembali kejalan yang benar. Abu bakar berkata: mengenai peristiwa itu, “demi Allah, andaikan mereka menolak menyerahkan kepadaku seutas tali yang pernah mereka serahkanya sebagai kewajiban berzakat kepada Rasulullah, niscaya akan kuperangi mereka karena penolakan itu”.
3.      Tujuan pembicaraan
Tujuan pembicaraan yaitu untuk mengingatkan kita tentang zakat sebagaimana telah jelaskan pada isi kandungan tersebut, bagaimana zakat pada masa khalifah bahwa orang yang tidak menyerahkan zakat yang wajib maka dinyatakan sebagai orang-orang murtad. Di jelaskan juga tentang orang yang berhak menerima zakat.
4.      Munasabat
 Jika yang dimaksud dengan kata (صَدَقَةً ) adalah menghapuskan dosa yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk sebagaimana dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri, maka munasabah (hubungan) antara ayat ini dengan ayat sebelumnya cukup jelas, sebab yang dimaksud adalah mengobati kesalahan sekelompok orang ini. Jadi ayat ini khusus bagi mereka. Bisa juga menjadikan maksud ayat ini bersifat umum dengan mengatakan : Jika kalian ridha dengan mengeluarkan sedekah yang tidak wajib, maka kalian ridha dengan mengeluarkan yang wajib adalah lebih utama.
Ayat ini juga menjelaskan tentang orang-orang kaya untuk zakat. Adapun pendapat ulama fiqh, maka hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah seperti ini : Ketika mereka mengemukakan taubat dan penyesalannya karena tidak ikut perang Tabuk, dan mereka mengakui bahwa menyebabkannya adalah karena cinta harta serta sangat ambisi menjaga harta itu dari infak, maka seolah-olah dikatakan kepada mereka : kebenaran perkataan kalian tentang pengakuan taubat dan penyesalan adalah jika kalian mengeluarkan zakat wajib, karena  pengakuan tidak  terbukti kecuali dengan bukti, dengan ujian seseorang menjadi mulia atau hina. Jika mereka melaksanakan zakat itu dengan senang hati, maka nyatalaha kebenaran taubat mereka. Jika tidak, mereka adalah orang-orang yang dusta.
5.      Bantuan azbab an-nuzul
Ibnu Jarir  meriwayatkan dari Ibnu Abbas : bahwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya yang mengikatkan diri di tiang-tiang mesjid ketika mengakui dosa-dosa mereka dan Allah pun telah mengampuni mereka datang kepada Rasulullah saw. Dengan membawa harta mereka seraya berkata: "Ya Rasulullah, inilah harta benda kami yang merintangi kami untuk turut berperang. Ambillah harta itu dan bagi-bagikanlah, serta mohonkanlah ampun untuk kami atas kesalahan kami." Rasulullah menjawab: "Aku belum diperintahkan untuk menerima hartamu itu." Maka turunlah ayat ini : (خُذْ مِنْ أَمْوالِهِمْ صَدَقَةً الآية). Lalu Rasulullah saw mengambil 1/3 dari harta mereka.
Dalam riwayat lain desebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi, bahwa Tsa'labah ibn Hathab meminta doa Rasulullah, "Ya Rasulullah berdoalah pada Allah supaya Dia memberi rizki harta pada saya!' Kemudian berkembang-biaklah domba Tsa'labah hingga dia tidak shalat Jum'at dan ikut jama'ah, lalu turunlah ayat 'Khudz min amwaalihim.
ü  Tafsir
(خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا / Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka). YakniWahai Rasul dan setiap pemerintah muslim sesudahmu, ambillah shadaqah (zakat) dengan kadar tertentu dari harta orang-orang yang bertaubat dan yang lainnya. (التزكية/mensucikan): berarti membersihkan dengan ekstra. Yakni, Allah swt tidak menjadikan berkurangnya harta karena dikeluarkan zakatnya  sebagai sebab berkembangnya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam  Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda : “ما نقصت صدقة من مال/Harta tidak akan berkurang lantaran sedekah “.
Menurut al-Hasan al-Bashri yang dimaksud  dengan shadaqah di sini adalah shadaqah yang dapat menghapuskan dosa yang dilakukan mereka (yang tidak ikut perang Tabuk), jadi bukan zakat wajib. Sedangkan menurut kebanyakan Ulama Fiqh yang dimaksud dalam ayat ini adalah zakat wajib. Atas dasar ini, maksud firman Allah : (خُذْ مِنْ أَمْوالِهِمْ ) adalah seluruh harta dan orang. Harta itu bersifat umum, tapi yang dimaksud adalah khusus, karena mengecualikan harta yang tidak diwajibkan zakat seperti rumah dan pakaian. (lihat Tafsir Ahkam, al-Jashshash)
Dalil bahwa yang dimaksud dalam ayat  adalah sedekah wajib, yaitu firman Allah (تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِها            ), yakni sedekah itu dapat membersihkan dan mensucikan mreka dari dosa disebabkan mengambil sedekah tersebut.
ü  Orang yang berhak menerima zakat:
·         Orang-orang Fakir
Orang-orang yang  di dalam penghidupannya untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, baik bagi dirinya sendiri dan atau orang yang menjadi tanggungannya, hanya mampu mencukupi kurang dari separuh keperluannya.
dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda."
"لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّة سَويّ"
Zakat itu tidak halal bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi bermata pencaharian[3].
·         orang-orang Miskin
orang yang dapat mencukupi kebutuhannya tetapi belum sepenuhnya tercukupi.
·         ’Amil (Orang-orang yang mengurusi zakat)
Yaitu beberapa orang yang ahli tentang seluk-beluk zakat (hukum-hukumnya, barang-barang, dan kadar masing-masing yang dizakati dan sebagainya) yang diangkat oleh Nabi SAW/ Pimpinan umat Islam dan bertugas sebagai penghitung dan penerima serta penagih zakat dari kaum muslimin untuk disalurkan sebagaimana mestinya. Walaupun ia bukan fakir/miskin, namun berhaq menerima zakat, dengan kata lain pengurus masjid atau marbot.
·         Muallaf
Yaitua : 1)Orang yang baru masuk islam, agar makin mantap keislamannya. 2)Orang yang di harapkan masuk islam dan telah tampak tanda-tanda simpati dan   perhatiannya terhadap islam, ia berhaq menerima zakat tersebut agar semakin memperlancar keislaman orang itu. 3)Orang-orang yang sangat memusuhi islam dan berpengaruh dalam masyarakat,
·         Budak
Mereka berhaq mendapat bagian zakat untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman perbudakan.
·         Gharim (orang-orang yang berhutang)
Yaitu orang-orang islam yang kesulitan dan kepayahan karena terbelit oleh hutang-hutangnya yang bukan disebabkan karena pemborosan/maksyiat (judi dan sebagainya).
·         Sabilillah (jalan Allah)
Yaitu setiap sarana dan tempat serta orang-orang yang berhubungan dengan hal-hal yang berguna bagi agama maupun masyarakat luas. Misalnya : Masjid-masjid, sekolahan, madrasah, lembaga-lembaga da’wah, tempat pengajian dan sebagainya, termasuk orang-orang yang menyelenggarakan serta mengurusinya.
·         Ibnus-sabil (orang yang dalam perjalanan/musafir)
Yaitu orang yang dalam perjalanan, lalu putus bekal dan dikhawatirkan terlantar dalam perantauannya itu, maka yang demikian itupun berhaq menerima zakat untuk bekal pulang ke negeri/daerah asalnya.
C.     Penutup
Kesimpulan
Zakat merupakan salah satu rukun islam yang harus kita percayai. Zakat merupakan perbuatan yang dapat mensucikan diri atau membersihkan dari segala sifat dengki atau sombong, tamak atau ria. Ada 8 golongan yang berhak menerima zakat, yaitu: orang fakir/miskin, orang miskin, mualaf, ibnu sabil, gharim, budak dan amil.
Kita dapat mengetahui tentang cara mentafsirkan surat at taubah ayat 103. Langkah-langkah yaitu:
1.      Tentukan mufrodat-nya
2.      Isi kandungannya
3.      Tujuan pembicaraan
4.      Munasabah, Bisa di bantu dengan azbab an nuzul.
5.      Di tafsirkan




Artikel Lainnya